OKE

KEMBALI KE BUKU : Melarang Ponsel Pintar / HP di Sekolah ?


Larangan penggunaan ponsel pintar di kelas atau disekolah menjadi isu yang semakin hangat dibahas di dunia pendidikan kita bahkan di global. Beberapa negara telah mengambil langkah tegas dengan melarang penggunaan perangkat ini di ruang kelas, dengan tujuan meningkatkan konsentrasi siswa dan mengurangi distraksi. 

Belanda: Mulai September 2024, Belanda memberlakukan larangan penggunaan ponsel pintar di semua sekolah selama jam pelajaran. Larangan ini sebelumnya telah diterapkan di sekolah menengah dan kini diperluas ke sekolah dasar. Pemerintah Belanda menyatakan bahwa ponsel dapat mengalihkan perhatian siswa dan menurunkan konsentrasi, yang berdampak negatif pada prestasi belajar. Namun, ada pengecualian jika ponsel diperlukan untuk konten pelajaran atau digunakan untuk alasan medis. 

Siprus: Pada Juni 2024, Menteri Pendidikan Athena Michaelidou mengumumkan rencana untuk melarang penggunaan ponsel pintar di sekolah. Langkah ini bertujuan mengurangi distraksi dan perilaku anti-sosial di kalangan siswa. Meskipun siswa masih diizinkan membawa ponsel ke sekolah, penggunaannya akan dibatasi selama jam sekolah. Kebijakan ini sejalan dengan rekomendasi UNESCO dan mengikuti tindakan serupa di beberapa negara Eropa lainnya. 

Prancis: Sejak tahun ajaran 2018, Prancis melarang penggunaan ponsel pintar di sekolah bagi siswa berusia 6 hingga 15 tahun. Larangan ini mencakup penggunaan ponsel selama jam pelajaran dan istirahat, dengan tujuan meningkatkan fokus belajar dan mengurangi ketergantungan pada perangkat digital. 

Yunani dan Italia: Kedua negara ini telah menerapkan larangan penggunaan ponsel pintar di kelas untuk mengurangi gangguan dan meningkatkan efektivitas pembelajaran. Di Yunani, siswa diwajibkan menyimpan ponsel mereka di tas selama berada di sekolah. 

Langkah-langkah ini menunjukkan tren di beberapa negara untuk membatasi penggunaan ponsel di lingkungan pendidikan, dengan harapan menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif dan meningkatkan interaksi sosial antar siswa.

Lalu, apakah Indonesia juga perlu mengikuti langkah ini dan kembali ke metode pembelajaran manual menggunakan buku?

Alasan pelarangan ponsel pintar di kelas didasarkan pada beberapa alasan, di antaranya:

  1. Distraksi Belajar: Kehadiran ponsel pintar sering kali mengalihkan perhatian siswa dari materi pelajaran. Notifikasi, media sosial, dan game menjadi gangguan utama.
  2. Penurunan Konsentrasi: Studi menunjukkan bahwa siswa lebih sulit fokus ketika ponsel pintar tersedia di sekitar mereka, bahkan meski posel tersebut tidak digunakan.
  3. Kesehatan Fisik: Ponsel pintar memiliki tingkat radiasi yang cukup tinggi, sehingga penggunaan secara terus menerus akan dapat mempengaruhi kesehatan penggunanya.
  4. Kesehatan Mental: Paparan berlebihan terhadap media sosial melalui ponsel pintar dapat memengaruhi kesehatan mental siswa, seperti meningkatkan tingkat kecemasan dan menurunkan rasa percaya diri.

Keuntungan kembali ke Buku teks:

  1. Meningkatkan Fokus: Belajar melalui buku teks/cetak manual membantu siswa berkonsentrasi penuh pada materi tanpa gangguan digital.
  2. Mengasah Keterampilan Literasi: Membaca buku teks manual cenderung lebih mendalam dan membantu siswa memahami konsep dengan lebih baik.
  3. Mengurangi Ketergantungan Teknologi: Metode manual mendorong siswa untuk tidak bergantung pada perangkat elektronik, sehingga mereka lebih mandiri dalam belajar.

Meski ada banyak manfaat, melarang ponsel pintar dan kembali ke buku cetak/manual bukan tanpa tantangan:

  1. Perubahan Gaya Belajar: Generasi muda saat ini tumbuh dalam era digital. Mereka lebih terbiasa belajar dengan bantuan teknologi.
  2. Akses Informasi Terbatas: Buku cetak tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan informasi yang dinamis dan terkini.
  3. Ketimpangan Akses Teknologi: Di beberapa daerah di Indonesia, teknologi justru membantu menjembatani keterbatasan sumber belajar, seperti kekurangan guru atau buku cetak.

Melarang ponsel pintar di kelas sepenuhnya mungkin bukan solusi yang ideal untuk Indonesia. Sebaliknya, pendekatan yang lebih seimbang bisa diterapkan, seperti:

  1. Penggunaan Terbatas: Smartphone hanya boleh digunakan untuk aktivitas yang mendukung pembelajaran, seperti mencari informasi atau mengakses aplikasi pendidikan.
  2. Edukasi Literasi Digital: Membekali siswa dengan pemahaman tentang penggunaan teknologi secara bijak dan produktif.
  3. Pengawasan Ketat: Guru dapat berperan aktif dalam mengawasi penggunaan ponsel pintar di kelas, memastikan perangkat hanya digunakan untuk tujuan edukasi.

Melarang ponsel pintar di kelas dan kembali ke buku manual mungkin cocok untuk beberapa negara, tetapi penerapannya di Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lokal. Alih-alih memilih salah satu, integrasi teknologi dan metode manual dapat menjadi jalan tengah yang efektif. Pendidikan yang adaptif dan fleksibel akan membantu Indonesia mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan zaman tanpa melupakan nilai-nilai dasar pembelajaran.

Penulis teringat kebijakan penghapusan mata pelajaran TIK dalam kurikulum 2013 dimana salah satu alasannya karena konten pelajarannya sudah out of date , ternyata kita harus membayar mahal terkait kebijakan tersebut, dimana kita terbilang gagal melakukan lompatan teknologi, cenderung menjadi konsumtif terhadap teknologi. 

Penggunaan ponsel pintar di kelas perlu disikapi dengan bijak. Keputusan untuk menerapkan kebijakan serupa harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk sekolah, guru, siswa, orang tua, dan pemerintah.

Sekolah memiliki tanggung jawab menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. ponsel pintar sering dianggap mengganggu fokus siswa dan merusak disiplin kelas. Kepala sekolah yang mendukung larangan ini berpendapat bahwa pembelajaran manual melalui buku memperkuat literasi, meningkatkan pemahaman konsep, dan meminimalkan risiko bullying digital. Namun, sekolah juga menghadapi tantangan dalam mengawasi implementasi kebijakan ini, terutama di era digital yang menuntut penggunaan teknologi dalam pendidikan.

Tantanganya dengan membatasi akses ponsel pintar dapat mengurangi fleksibilitas pembelajaran berbasis teknologi, infrastruktur pendidikan berbasis buku harus diperkuat untuk mendukung kebijakan ini.

Disisi lain, Guru sering merasa terganggu dengan keberadaan ponsel pintar di kelas, terutama ketika siswa menggunakannya untuk hal di luar pembelajaran. Banyak guru setuju bahwa penggunaan buku manual memungkinkan siswa lebih fokus. Namun, mereka juga menyadari bahwa teknologi, jika dimanfaatkan dengan bijak, dapat menjadi alat bantu pengajaran yang sangat efektif.

Bagi siswa, ponsel pintar adalah bagian integral dari kehidupan mereka. Selain untuk hiburan, perangkat ini membantu mereka mengakses informasi secara cepat dan mendukung pembelajaran. Banyak siswa mungkin menolak larangan ini, menganggapnya sebagai langkah mundur. Namun, beberapa siswa yang menyadari distraksi yang ditimbulkan smartphone mungkin menyambut baik kebijakan ini.

Sementara itu, orang tua umumnya mendukung kebijakan yang dapat meningkatkan prestasi akademik anak mereka. Namun, mereka juga menginginkan pendekatan yang seimbang. Larangan ponsel pintar dapat membantu anak-anak lebih fokus, tetapi orang tua juga mengkhawatirkan komunikasi darurat ketika anak tidak diperbolehkan membawa atau menggunakan ponsel pintar di sekolah.

Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari larangan ponsel pintar di sekolah. Di satu sisi, pelarangan ini dapat meningkatkan konsentrasi siswa dan kualitas pendidikan. Di sisi lain, hal ini bisa bertentangan dengan program digitalisasi pendidikan yang sedang dicanangkan pemerintah.

Pendidikan adalah tentang keseimbangan. Dalam hal ini, kolaborasi antara sekolah, guru, siswa, orang tua, dan pemerintah menjadi kunci untuk menciptakan sistem pendidikan yang adaptif, relevan, dan mendukung perkembangan siswa di era digital.

Pendekatan yang bijak adalah mengintegrasikan penggunaan ponsel pintar secara terbatas dan terkontrol dengan tetap mempertahankan peran buku manual. Kebiasaan siswa menemukan in formasi dengan mudah menggunakan ponsel pintar dengan bantuan mesin pencari dan aplikasi generatif (AI) seperti chatGPT dan sejenisnya memang mempermudah, namun kemampuan critical thinking dan problem solving siswa juga perlu dirangsang dengan pendekatan Deep Teaching dan/atau STEAM oleh guru.

Alternatif komunikasi darurat perlu juga disediakan oleh sekolah sekolah saat dilaksanakan pembatasan penggunaan ponsel pintar, misalnya dengan menyediakan ponsel khusus untuk mereka dapat menghubungi orang tua, memesan OJOL untuk pulang, memesan makan dan kebutuhan komunikasi lainnya.

Atau menyediakan tempat atau loker-loker khusus untuk menempatkan ponsel pintar siswa selama mereka berada disekolah juga dapat diterapkan untuk sekolah-sekolah yang melakukan pembatasan ponsel pintar.

Pekerjaan rumah pemerintah dan sekolah saat ini adalah menyediakan sarana belajar berbasis teknologi yang aman dan terkontrol serta mencukupi untuk seluruh siswa sehingga penggunaan ponsel pintar bisa ditekan dan dikurangi dalam pembelajaran. Hal lainnya tentu dengan tetap mempertahankan peran buku manual dengan menyediakan perpustakaan-perpustakaan diseluruh sekolah dengan jumlah buku dan referensi yang mencukup baik dari sisi jumlah maupun variasinya.



Sebagai catatan terakhir dari penulis!

Beberapa waktu lalu penulis mengunjungi beberapa sekolah di kawasan Rohini, New Delhi dan Noida di negara India untuk kali yang kedua. Negara India ini terkenal dengan kemajuannya di bidang teknologi, namun sekolah-sekolah juga melakukan "pelarangn" tidak sekedar pembatasan terhadap penggunaan ponsel pintar. Namun kebijakan ini didukung oleh tersedianya bus-bus sekolah sehingga orang tua tidak terlalu khawatir terkait transportasi anak-anak mereka saat pergi dan pulang sekolah. 

Disisi lain sekolah menyediakan sarana dan prasarana teknologi yang mencukupi dan memadai untuk siswa dalam memanfaatkan teknologi didalam pembelajaran termasuk pengembangan kemampuan coding, makerspace dan AI.

Dan tentunya buku-buku cetak pelajaran dan referesni tersedia berlimpah dan mencukupi untuk seluruh siswa serta selalu diupdate setiap waktu dengan buku-buku baru, sehingga di level sekolah pun terkadang ada beberapa unit perpustakaan-perpustakan yang tersedia untuk memfasilitasi kemampuan literasi dan research siswa, hingga lupa akan keberadaan ponsel mereka, karena interaksi sosial antar siswa terjadi melalui buku - buku tersebut dan pendekatan pembelajaran adaptif yang dilakukan oleh guru. 

Harga buku-buku yang begitu murah pastilah ada campur tangan negara, bukan campur tangan "pemain buku". Sudah saatnya negara hadir melalui pemerintah untuk penyedian dan pencetakan buku-buku murah, hingga pada titik orang sudah tidak ada keinginan lagi untuk "memfotocopy" buku, karena biayanya akan lebih mahal daripada membeli buku aslinya, apalagi jika buku-buku tersebut tersedia dalam jumlah cukup di perpustakaan-perpustakaan sekolah.

Perlu ada reformasi besar-besaran dibidang perbukuan dan perpustakaan oleh pemerintah.

Siapkah kita ? Pilihan ada ditangan anda !


Fathur Rachim
Ketua Umum HIPPER Indonesia




Related

trend 4568108684838553977

Posting Komentar

  1. kereeeen banget tulisannya. Sangat menjelaskan tentang kontradiksi ponsel pintar untuk pembelajaran. Di sisi lain penting, tetapi pasti dampaknya selalu ada. Semoga kita bijaksana dalam menyikapinya.

    BalasHapus

Terimakasih atas saran dan tanggapannya, segera akan dibalas !

emo-but-icon

Follow Me !

Viral

item