GURU PENGGERAK 4.0 : DISKUSI MERDEKA BELAJAR BERSAMA INDRA CHARISMIADJI !
https://www.fathur.web.id/2020/02/guru-penggerak-diskusi-merdeka-belajar.html
Komunitas "Guru Penggerak 4.0" pada hari Rabu, 5 Februari 2020 bertempat di channel telegram Guru Penggerak Merdeka Belajar dengan alamat http://t.me/gurupenggerak berhasil mengundang dan menghadirkan tokoh sekaligus pengamat pendidikan dan pembelajaran abad 21 yang fenomenal sekaligus kontroversial sebagai tamu dalam diskusi online perdana tersebut. Tema yang diangkat kali ini adalah "Merdeka Belajar" yang diikuti lebih dari 600 peserta secara daring/online yang berasal dari unsur guru lintasa jenjang, kepala sekolah, pengawas, dinas, dosen serta umum.
Menindaklanjuti arahan Presiden RI untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menetapkan empat program pokok kebijakan pendidikan yang dikenal dengan merdeka belajar. Program tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi.
Sudah sering kita mendengar istilah Merdeka Belajar namun mungkin masih banyak sebagian dari kita belum memahami esensi merdeka belajar ini. Untuk itu diskusi yang di moderatori Fathur Rachim dari AGTIFINDO.OR.ID sangat menarik untuk disimak dan diikuti. Untuk itu dalam tulisan kali ini akan disajikan hasil diskusi tersebut dalam format Q/A.
Pengantar Merdeka Belajar (Indra Charismiadji)
Banyhak orang mengatakan bahwa saya "memusuhi" guru dengan berbagai pernyataan dan statemen saya di media baik cetak maupun elektronik. Saya banyak punya keluarga yang bekerja sebagai guru dan saya juga hidup di lingkungan para pendidik, jadi mana mungkin kalau saya memusuhi keluarga saya sendiri. Justru karena saya berasal dari keluarga pendidik dan tahu persis apa yang dibutuhkan untuk memberikan pembelajaran yang sesungguhnya terhadap anak didik kita. Dan sisanya karena memang terkadang bahasa wartawan berbeda dengan apa yang kita sampaikan.
Saya terbuka kalau ingin diajak diskusi secara pribadi bisa lewat WhatsApp, Telegram, Email atau lewat sosial media apapun. Jadi silakan karena saya senang kalau diajak diskusi oleh sesama pendidik.
Kenapa konsep merdeka belajar ini diluncurkan oleh mas menteri, hal ini menjadi satu pertanyaan dasar yang harus kita pahami dulu karena tanpa tahu tujuannya maka kita akan sulit untuk memahami langkah yang kita ambil. Ada yang tahu, kira-kira kenapa konsep "Merdeka Belajar" ini diluncurkan dan kira-kira apa tujuannya?
Berikut beberapa tanggapan yang berhasil kami rekam:
SANIATI DJAMALU: Agar setiap guru dan siswa bisa bebas berkreasi dalam proses PBM.
Yuliana Rahayu: Agar pembelajaran itu menjadi lebih bermakna dan menyenangkan
Hariyantoni Toni: Agar guru bebas berkreasi
Melyani Dwi Astuti: Agar para guru tidak terbebani dengan setumpuk administrasi dan siswa bisa leluasa dan fokus menuntut ilmu
Ernasari: Agar potensi & kreasi guru jg siswa tergali
Agus Jauhari: Merdeka = bebas
SANIATI DJAMALU: Merdeka=Kebebasan
Nurhadi : Memaksimalkan dan mengaplikasikan kecakapan abad 21
Diana Kholida Mr: Free,, bebas, kreasi, inovasi, unusual
Theresia Massie Sitepu: Merdeka= bisa menikmati apa yg dikerjakan
Lukmanudin, S.Pd.I.: Merdeka tidak terikat dengan administrasi
Nurhadi : Out off the book
Bunda Tri: Tidak terjajah, tdk terbelenggu
Agus Jauhari: Berkarya berkreasi berekspresi
Hariyantoni Toni: Tidak terbeban
Ernasari: Bebas berkreasi utk lbh maju
SANIATI DJAMALU: Bebas untuk berkreasi, inovasi
Sulistyoningsih: Bebas berkreasi u mengembangkan potensi anak didik menuju era abad 21
Lina Andriani: Tidak terbatasi
Nurhadi : Kreativitas guru utk lepas dari konvensional mengajar
Bu Icih : Merdeka dalam arti memiliki byk pilihan utk berinovasi
Theresia Massie : Tidak terikat dg suatu ketentuan yg baku dan membuat seseorang merasa kaku
Yuyun : Merdeka = tidak tergantung pada negara lain. Tidak jadi penonton dan pemakai terus
Yuliana Rahayu: Merdeka utk bereksplorasi dalam PBM sesuai dg potensi yang dimiliki oleh siswa, guru dan sekolah
Kanisius Kemudi: Kebebasan yg berorientasi pd memaksimalkan hasil.
Agus Jauhari:Bebas berkarya berkreasi dan berekspresi
Nugraha Sofian: Merdeka = bebas mengeluarkan pendapat dan tidak di kukung oleh kebijakan birokrasi yg berbelit2 khususnya yang berkaitan dengan pendidikan...satu hal lagi kesejahteraan guru perlu di tingkatkan lagi
Ernasari: Bebas dr berbagai tekanan utk kpntngan tertentu
Agus Harianto: Selama ini guru terbelenggu di antara kompleksitas dan kontroversi. Jadi merdeka kemungkinan bisa diartikan terbebas kedua kata tersebut.
Wa ode Darniati Darniati: Merdeka = bebasb untk berkarya,berinovasi dan berekpresi demi mencapai tujuan bersama
Melyani Dwi Astuti: Merdeka berkreasi dengan berbagai cara yang digali dan timbul dari diri para guru untuk kegiatan mengajar dan bagaimana materi yang disampaikan bisa dengan mudah dan menyenangkan diterima siswa. Untuk siswa, merdeka belajar adalah bebas memilih apa yang disenangi dan berkreasi serta mengutarakan ide- idenya untuk mencapai tujuan serta kepuasan dalam belajar
Nugraha Sofian:Merdeka dalam ber ekspresi tapi sesuai koridor hukum yg berlaku di tanah air
Konsep merdeka belajar ini diluncurkan karena mas menteri punya target yang diberikan oleh presiden kita Bapak Joko Widodo untuk menyiapkan SDM yang unggul sehingga di tahun 2045 Indonesia bisa menjadi kekuatan ekonomi terbesar nomor 5 di dunia dimana targetnya adalah penghasilan setiap orang rata-rata 27 Juta perbulan dan 2045 itu bersamaan juga dengan 100 tahun Indonesia merdeka.
Dari sekian banyak definisi tentang kemerdekaan yang menurut saya paling pas adalah definisi dari seorang Novelis Amerika Serikat yang namanya Walter Moesly. Dia mengatakan bahwa kemerdekaan adalah sebuah kondisi pikiran. Badan kita mungkin tidak akan pernah mampu untuk merasakan dan mendefinisikan "Apa arti kemerdekaan", yang penting adalah kondisi pikirannya bukan badannya bukan fisiknya tapi mentalnya "Freedom Is A State of Mind".
Bicara kondisi pikiran artinya berhubungan dengan penalaran. Bagaimana tingkat nalar manusia ? Kita tahu bahwa nalar manusia itu sudah disusun dari tingkat nalar yang paling rendah hingga yang paling tinggi dan dari berbagai macam teori yang ada, yang saat ini paling banyak dipakai tentunya teori dari Lorin W. Anderson and David R. Krathwohl yang juga dikenal dengan judul nya adalah Revisi Taksonomi Bloom dan saya yakin anda semua sangat mengenal Konsep ini yang disebut dengan HOTS.
Saya yakin anda semua sudah tahu skema ini di mana kemampuan berpikir atau bernalar dimulai yang paling rendah itu disebut Lower Order Thinking Skill (C1 yaitu mengingat / menghafal, C2 memahami, C3 mengaplikasi, hingga meningkat menjadi Higher Order Thinking Skill yakni C4 menganalisa, C5 mengevaluasi, dan C6 adalah mencipta.
Apakah anda setuju dengan skema yang saya berikan tentang revisi Taksonomi Bloom diatas atau ada yang punya pendapat lain? Jika anda semua setuju, bisa anda bantu jelaskan kepada kita semua, "Apa yang dimaksud dengan C1 dan mengapa dianggap sebagai tingkat penalaran yang paling rendah?". Mengapa hal ini saya tanyakan, karena saya seringkali di debat oleh para pendidik lain yang mengatakan bahwa menghafal atau mengingat adalah bagian terpenting dalam proses pembelajaran. Bagaimana menurut anda ?
Baca juga : LITERASI : HAFALAN ITU PENTING !
Apakah anda pernah dengar nama seorang psikolog Jerman yang namanya Hermann Ebbinghaus. Dia punya sebuah kajian yang sangat terkenal judulnya "Ebbinghaus Forgetting Curve" atau "kurva bagaimana manusia itu lupa". Dalam kajian tersebut itu akan dapat menjelaskan mengapa C1 ditempatkan di tingkat yang paling rendah. Dikatakan bahwa dalam waktu 20 menit saja segala sesuatu yang kita terima dalam bentuk informasi baru yang akan tersimpan hanya tinggal 58% saja, dalam waktu 1 jam tersisa 44% dan dalam waktu 31 hari tinggal 21%.
Jadi intinya segala sesuatu yang kita hafalkan, yang hanya dapat kita ingat-ingat saja, karena secara anatomi, otak manusia memang tidak diciptakan untuk menjadi tempat penyimpanan jadi kalau kita pola berpikirnya hanya menghafal hanya mengingat susuatu kurang manfaatnya.
Hal ini terbukti kalau kita belajar dengan pola SKS (sistem kebut semalam) dimana kita berusaha menghafalkan apa yang kira-kira akan keluar dalam tes yang akan kita hadapi esok harinya setelah tes selesai semua yang kita hafal kan tadi akan hilang dari pikiran kita dan itulah pola belajar yang sering dilakukan oleh negara kita sekarang. Apa manfaat belajar hanya untuk dilupakan ? Itulah mengapa pola belajar dengan cara menghafal atau mengingat ini ditempatkan di posisi tawar yang paling rendah atau dengan kata lain adalah tingkat berpikir yang paling "bodoh" atau orang yang paling bodoh adalah orang yang hanya bisa menghafal.
Silahkan disimak tayangan video berikut yang menunjukkan bagaimana hasil belajar dengan pola menghafal pasti akan lupa.
C2 pada dasarnya adalah apabila hal yang kita hafal kan tadi kita ulang ulang-ulang terus maka itu akan tersimpan di dalam memori kita tetapi biasanya hanya berhenti sebagai teori saja. Contohnya, andaikata anda membuat sebuah soal dalam sebuah ulangan atau ujian, apapun bentuknya, lalu anda berikan soal tersebut kepada anak-anak dan bunyi soalnya begini :
Dimana kalian membuang sampah ?
A. Laut
B. Sungai
C. Pinggir jalan
D. Di tempat sampah
Apa kira-kira jawaban anak didik anda terhadap soal tersebut ? Dari berbagai daerah di mana saya ketemu para guru dengan sangat yakin mereka semua menjawab "kami yakin siswa kami akan menjawab D". Ya, sampah memang harus dibuang ditempat sampah dan itu berarti anda akan memberikan nilai 100 kepada anak didik anda tersebut.
Lalu pertanyaan saya berikutnya, kalau di soal tersebut mereka bisa menjawab dengan benar dengan nilainya 100, apakah dalam kehidupan sehari-hari mereka memang sudah mampu membuang sampah di tempat sampah atau hanya teorinya saja ? Dari penjelasan saya ini tentunya anda sudah bisa menarik sebuah perbedaan antara level C2 memahami yang hanya teori saja dan C3 yang sudah 1 level di atasnya lebih tinggi tingkatannya, lebih cerdas di mana mereka tidak hanya tahu teorinya saja tapi mampu melakukan atau mampu mengaplikasikan tidak sekedar teori.
Harapan saya anda sekarang sudah bisa membedakan apa itu C1, apa itu C2 dan apa itu C3 !
Sedangkan C3 mereka tidak hanya tahu teorinya saja tapi mereka mampu melakukan mampu secara nyata ada tindakannya tidak hanya di atas kertas saja jadi kalau kita melihat ada anak yang sudah membuang sampah di tempat sampah bukan hanya di soal saja menjawabnya, artinya level berpikir mereka sudah di C3, yang menarik disini adalah bahwa "sudah bisa melakukan" itu adalah hal yang sangat positif itu pembelajaran yang sangat baik. Coba kita lihat dari skema ya, ternyata melakukan sesuatu dengan tindakan nyata ternyata tempatnya masih di level rendah, belum sampai di tahap nalar tinggi.
Video diatas akan menjelaskan kenapa orang yang hanya melakukan sesuatu masih dianggap "bodoh" karena ternyata banyak orang itu bisa melakukan sesuatu tapi mereka tidak tahu kenapa mereka melakukan hal tersebut. Dalam Sosial Eksperimen tersebut diceritakan setiap ada bunyi bel, orang-orang yang duduk di ruang tunggu dokter klinik tersebut berdiri kemudian ada seorang wanita yang baru masuk kita mau lihat apakah dengan dia tidak tahu kenapa orang-orang berdiri sejak mendengar bel akan ikut berdiri juga ?
Akhirnya kita mengetahui bahwa hanya dalam 2 clips saja si wanita sudah ikut-ikutan yang lain untuk berdiri tanpa dia tau kenapa orang itu berdiri dan bahkan karena sudah dilatih berulang-ulang terus sampai saat Tidak ada orang lain lagi di ruangan tersebut lalu bel berbunyi dia pun masih berdiri. Selanjutnya saat ada orang baru yang masuk ke dalam ruang tunggu klinik tersebut melihat wanita itu berdiri pada hitungan kedua lalu dia menanyakan mengapa kamu berdiri ? lalu dijawab tadi semua orang berdiri dan akhirnya si pria pun ikut-ikutan berdiri tanpa tahu kenapa harus berdiri dan hal ini terus diikuti oleh orang-orang lain.
Disini lah kenapa C3 walaupun bisa melakukan tetapi masih dianggap nalarnya rendah karena hanya melakukan tanpa tahu kenapa mereka melakukan hal tersebut setiap harinya.
Menariknya di Indonesia banyak banyak sekali kondisi yang seperti ini di mana orang Indonesia banyak melakukan sesuatu tanpa mereka tahu kenapa hal tersebut mereka lakukan, hanya merasa wajib saja. Suatu ketika saya bertanya kepada guru disebuah kegiatan, Mengapa anda menggunakan helm bagi yang menggunakan motor atau untuk apa pakai sabuk pengaman (pengendara mobil) ?
Semua menjawab supaya tidak ditangkap polisi, tidak ada satupun yang menjawab saya memakai helm untuk melindungi kepala saya atau untuk melindungi badan saya pada saat kecelakaan. Kenapa aplikasi dianggap nalar yang rendah ? karena otaknya didirikan di kepala orang lain dan orang lain yang berpikir, kita hanya melakukan saja. Kita lihat anak-anak bisa buang sampah di tempat sampah, namun coba kita tanya kenapa kamu buang sampah di tempat sampah ? kalau mereka jawabnya jika nggak buang sampah di tempat sampah nanti dimarahin bu guru, nanti nilainya jelek, dsb maka mereka melakukan membuang sampah itu karena terpaksa karena ada dorongan dari luar yang memaksa mereka melakukan hal itu tapi mereka tidak menyadari, yang mereka ketahui hanya harus melakukan itu.
Orang-orang yang merasa tidak punya pilihan, lalu harus melakukan, itu adalah mereka yang tingkat berpikirnya masih di level C3.
Bedanya apa dengan C4 ? kalau sudah mampu menganalisa tindakan yang dilakukan oleh masing-masing, jadi yang dianalisa bukan orang lain tapi dirinya sendiri. Misalnya kalau kita ketemu anak yang bisa buang sampah di tempat sampah tadi lalu kita tanya kenapa kamu buang sampah di tempat sampah ? Jika berpikirnya di level C4 maka anak tersebut akan menjawab "kalau saya buang sampah sembarangan pertama lihatnya nggak enak, belum nanti timbul penyakit, nanti bisa bikin banjir" jadi mereka menjelaskan tindakannya dari dalam dirinya sendiri dari sudut pandang intrinsik atau dari diri sendiri bukan karena paksaan orang.
Ketika bapak ibu guru membuat RPP lalu anda bisa menjelaskan kenapa anda membuat RPP-nya seperti ini atau itu, berarti level berpikir anda sudah di level C4, bedanya adalah anda selalu punya pilihan, anda bisa menjelaskan kenapa anda membuat RPP-nya seperti ini. Walaupun mas menteri bilang RPP 1 halaman tapi anda membuatnya 3 halaman kalau anda punya penjelasan nggak masalah.
Level di atasnya lagi yaitu C5 (mengevaluasi), sekali lagi di sini yang dievaluasi bukan orang lain tapi dirinya sendiri jadi saat mereka sudah bisa membuang sampah di tempat sampah, orang yang level berpikirnya di C5 bisa mengevaluasi kalau plastik tidak bisa diurai sampai 25 tahun, pasalnya dalam membuang sampah mereka sudah mengevaluasi caranya tidak lagi semuanya jadikan satu tapi sampah plastik akan dipisah dengan sampah organik, atau dipisah dengan sampah kertas itu maknanya sudah bisa mengevaluasi.
Level berpikir C6 adalah mencipta. Di sini artinya betul-betul membuat sesuatu yang baru atau membuat sebuah perubahan. Jadi mereka buang sampah tidak sekedar hanya memisahkan antara kaleng dengan kertas atau lainnya namun berpikir bagaimana caranya bisa membuat kompos atau bahkan misalnya membuat sebuah gerakan untuk membuat sekolah bersih, gerakan kampung bersih dan tidak harus sebuah produk, tapi sebuah gerakan itu juga level berpikir C6.
Jadi revisi Taksonomi Bloom ini atau sering dikenal dengan istilah HOTS tidak ada hubungannya sama sekali dengan "soal". Inilah kesalahan fatal dari pihak kemdikbud saat menjelaskan tingkat Nalar dibuatnya dalam bentuk soal. Kalau anda membaca paper aslinya, taksonomi tersebut tidak ada menyebutkan tentang soal sama sekali.
Kalau lihat dari skema berikut ini mana yang menurut anda "pikiran merdeka" ? Mereka-mereka yang tidak punya pilihan atau mereka mereka yang punya pilihan ? Orang yang tidak punya pilihan itu C1 sampai C3, wajib atau harus kalau nggak ikut dihukum dan ada konsekuensinya sedangkan kalau yang di level C4 sampai C6 mereka selalu punya pilihan.
Untuk lebih jelas, misalnya di sebuah perempatan yang belum dipasang lampu lalu lintas, tanpa lampu merah ternyata membuat lalu lintas menjadi kacau dan macet karena orang-orang itu semaunya sendiri begitu dipasang lampu lalu lintas ternyata menjadi lebih teratur, orang lebih cepat dan tidak kacau di sana.
Disini berarti orang-orang yang memilih menggunakan lampu lalu lintas, walaupun sepertinya mereka tidak Bebas karena sekarang diatur, tapi sebetulnya lebih bermanfaat dengan ikut aturan dibanding tidak ada aturan. Jadi ini yang dimaksud dengan konsep Merdeka artinya bukan tidak ikut aturan. Orang yang merdeka akan selalu tahu setiap pilihannya mengandung sebuah konsekuensi apapun itu, itulah ciri orang-orang yang merdeka.
Sekarang saya akan menghubungkan kondisi dunia kerja kita karena pendidikan selalu dihubungkan dengan lapangan kerja bukan berarti hanya sekedar untuk mencari kerja tapi yang namanya pendidikan selalu berhubungan dengan bagaimana orang bertahan hidup dan kondisi yang sekarang itu disebut dengan revolusi industri 4.0.
Ada dua referensi yang sering dipakai dalam menjelaskan revolusi industri 4.0 dalam konteks dunia kerja yang pertama dari Global Institute yang mengatakan ada sekitar 800 juta pekerjaan manusia yang akan digantikan oleh robot atau mesin atau teknologi, kemudian satu lagi dari Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) yang mengatakan bahwa semakin banyak pekerjaan yang akan hilang digantikan oleh teknologi dan kesimpulannya dari 2 kajian tersebut ternyata 65% dari anak-anak kita yang saat ini duduk di bangku SD nantinya akan bekerja di bidang yang hari ini bidangnya saja belum tercipta atau dengan kata lain dalam rangka menyiapkan mereka menghadapi masa depan, kita tidak bisa lagi mengharapkan anak-anak kita untuk menjadi pencari kerja dan bekerja karena tinggal 35%. Mereka harus menjadi pencipta kerja.
Dengan demikian mungkin sekarang bapak/ibu mulai paham kenapa presiden kita Jokowi menunjuk mas Nadiem Makarim untuk menjadi Menteri Pendidikan Kebudayaan karena menghadapi tantangan 4.0 Indonesia harus bisa menciptakan Nadiem-Nadiem yang baru yakni pencipta dunia usaha seperti Go-jek yang baru. Itulah Kenapa dia ditunjuk karena orang yang paling tahu bagaimana menciptakan Nadiem Makarim adalah Nadiem Makarim sendiri. Untuk menjadi seorang Nadiem Makarim pikiran kita harus merdeka karena beliau tahu apa yang mau di kerjakan artinya tidak terpaksa dan memiliki pilihan.
Dan untuk mendorong model-model pemikiran seperti ini, Jack Ma mengatakan kita harus mengubah cara kita mengajar karena pola kita mengajar adalah pola yang sudah 200 tahun lamanya. Itulah tadi kenapa saya dapat banyak pertanyaan mengenai bagaimana waktunya ya? pertanyaan itu muncul karena pola pikir kita dan cara bekerja kita masih model yang lama masih model era 3.0 ini harus diubah.
Di dalam video Jack Ma tersebut dijelaskan kalau kita harus mengubah cara kita belajar dan cara kita mengajar karena cara kita mengajar itu sudah pola yang sangat jadul dan itu akan membuat anak-anak kita menjadi pengangguran karena apa ? kita seakan-akan di didik untuk berkompetisi dengan mesin-mesin, itu cuman bisa berpikir sampai level C3 karena mereka hanya bisa melakukan apa yang diperintahkan, algoritma yang dibuat oleh manusia itu yang diikuti oleh mesin.
Di era 1.0, untuk memenuhi kebutuhannya tentunya dengan mengumpulkan makanan dan masa bagaimana hidup nomaden berpindah-pindah. Tapi kondisi yang seperti itu juga tidak selama-lamanya karena populasi manusia semakin banyak akhirnya mereka sampai pada suatu waktu di mana jumlah penduduk dan jumlah hewan yang diburu lebih banyak jumlah pemburunya mereka masuk kehutan berharap akan pulang membawa binatang buruan tapi nggak bisa bawa pulang.
Tentunya keterampilan yang dibutuhkan di era 1.0 dan 2.0 berbeda-beda, di 2.0 itu pola menetap dan alat kerjanya juga beda, yang dipakai panah atau pakai tombak untuk berburu sedangkan yang membajak menggunakan cangkul atau menggunakan sapi, jadi tentunya dalam pendidikannya pun akan berhubungan dengan kondisi kehidupan.
Jadi kita lihat keterampilannya sangat berbeda antara 1.0 dan akan sangat aneh pada saat orang-orang bertani tapi yang diajarkan adalah caranya berburu, orang sedang belajar caranya mencangkul namun alat cangkul dan mencangkul nya tidak sesuai dengan zaman.
Jadi kalau kita melihat konsepnya Ki Hajar Dewantoro ini, dulu kita akan selalu mendidik anak untuk menjadi patung, anak yang nurut aturan yang dibutuhkan di era manufaktur, kerja di pabrik harus ikut aturan, problemnya anak yang patuh nggak mungkin bisa menjadi pencipta, kalau orang menciptakan sesuatu yang baru itulah kenapa disebut Bandel. Coba kita lihat gojek, apakah gojek melanggar undang-undang ? ya, tentu melanggar undang-undang Lalu Lintas dimana sepeda motor tidak boleh dijadikan alat angkutan manusia. Siswa harus bandel menciptakan cara baru, menciptakan solusi baru yang otomatis akan melanggar aturan yang sudah ada.
Tadi step-stepnya kalau kita Ngandel kita percaya kita kan bisa menjadikan yang menjadi Kandel, kita tidak tergoyahkan, orang mau ngomong apa kita enggak akan tergoyahkan, mau pengawas ngomong begini, kepala sekolah ngomong begitu, kepala dinas pendidikan ngomong begini, kita enggak tergoyahkan, kaki tangan kita punya suatu kepercayaan dan karena kita punya kepercayaan itu kita tidak tergoyahkan.
Demikain rangkumannya, semoga bermanfaat.
Mantab... Sangat beruntung sekali bisa ikut bergabung semalam...😁😁😁
BalasHapusAlhamdulillah
HapusSangat menginspirasi bagi kami sebagai pendidik.....👍👍👍
BalasHapusTerimakasih
HapusTrimaksih, bs nyimak lwt resume
BalasHapusLain kali gabung diacara live nya biar bisa turut berkontribusi untuk anak negeri
HapusTerimakasih pencerahannya
BalasHapusSama-sama bu
HapusSemoga segera ada lagi pembehasan lanjutannya
BalasHapusApa yg diprogramkan oleh pemerintah itu baik.tapi kembali kegurunya, apakah guru itu mampu dgn konsep merdeka belajar atau menjadi guru pembelajar. Guru yg milineal mampu menerima yg terbaru, terapdet sesuai perkembangan zaman, tapi sayangnya guru sekrg maunya yg instan, tdk mau melakukan literasinya.
Hapus